.

"Menemukan solusi jauh lebih penting dari menyalahkan orang."

Rabu, 21 Oktober 2009


Ada seorang dokter muda yang bepergian dengan isteri dan anaknya. Di
 tengah jalan kendaraannya ditabrak oleh sebuah Metromini sehingga anak dan
 isterinya terluka. Dokter muda itu begitu gusar dan terlibat cekcok
 panjang dengan sopir Metromini untuk meminta pertanggungjawabannya.
 Lalulintas menjadi macet total.
 Akhirnya dengan membawa perasaan dongkol ---karena adu-mulutnya dengan
 sopir Metromini itu tidak membawa hasil, dokter itu membawa anak dan
 isterinya ke Rumah Sakit terdekat. Namun malang, ternyata isterinya
 mengalami benturan di bagian kepala belakang yang sangat keras sehingga ia
 jatuh koma di perjalanan. Dengan setengah berbisik karena merasakan
 kesakitan anaknya berkata, "Seharusnya Papa segera tolong Mama ... bukan
 berantem dengan Sopir itu ...."
 
 Ini adalah kecenderungan dasar yang ada dalam diri kita. Dalam menghadapi
 persoalan, seringkali kita tidak berfokus pada persoalan yang kita hadapi
 dan segera mencari pemecahannya, tetapi justru effort kita banyak kita
 pakai untuk mencari-cari "siapa" yang salah. Kaum professional yang baik
 akan selalu mempunyai prinsip "Menemukan solusi jauh lebih penting dari
menyalahkan orang."

Pentingnya Perhatian Orang Tua



Sebuah Renungan - Kepada Mereka Yang Sibuk Berkarir 

Seperti biasa Rudi, kepala cabang di sebuah perusahaan swasta
terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. 

Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas
dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
Kok, belum tidur? sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya,Imron
memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan
berangkat ke kantor pagi hari. 

Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?"
Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?
Ah, enggak. Pengen tahu aja.
"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10
jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. 
Jadi, gaji Ayah dalam satu jam berapa, hayo?"

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar,
sementara ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. 
Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.
"Kalau satu hari ayah dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, 
berarti satu jam ayah digaji Rp 40.000,- dong, katanya."
Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok, perintah Rudi.

Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan ayahnya berganti
pakaian, Imron kembali bertanya, "Ayah, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- nggak?"
"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini? 
Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah."

Tapi, Ayah...
Kesabaran Rudi habis. "Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron. 
Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi,Rudi
nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron di kamar tidurnya. 
Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya
sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- ditangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi
berkata, "Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih
minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok' kan bisa. 
Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun ayah kasih."

"Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau
sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini."
Iya,iya, tapi buat apa? tanya Rudi lembut.
"Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga.
Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. 
Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka tabunganku,ada Rp15.000,-. 
Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp 40.000,-,
maka setengah jam harus Rp 20.000,-. Duit tabunganku kurang Rp 5.000,-
. Makanya aku mau pinjam dari Ayah, kata Imron polos."
Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.

(Saya tidak tahu apakah kisah di atas fiktif atau kisah nyata.)

Tapi saya tahu kebanyakan anak-anak orang kantoran maupun wirausahawan
saat ini memang merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua mereka. 
Saat dimana mereka tidak merasa "disingkirkan" dan diserahkan
kepada suster, pembantu atau sopir. Mereka tidak butuh uang yang lebih banyak. 

Mereka ingin lebih dari itu. Mereka ingin merasakan
sentuhan kasih-sayang Ayah dan Ibunya. Apakah hal ini berlebihan?

Sebagian besar wanita karier yang nampaknya menikmati emansipasi-nya,
diam-diam menangis dalam hati ketika anak-anak mereka lebih dekat
dengan suster, supir, dan pembantu daripada ibu kandung mereka sendiri. 

Seorang wanita muda yang menduduki posisi asisten manajer
sebuah bank swasta, menangis pilu ketika menceritakan bagaimana
anaknya yang sakit demam tinggi tak mau dipeluk ibunya, tetapi
berteriak-teriak memanggil nama pembantu mereka yang sedang mudik lebaran.)

Renungan : Daftar Kekurangan



  Cerita yang entah dari mana asalnya ini aku dapat dari seorang kawan.
  Menyentak dan menyentuh. Semoga bermanfaat.

 Pada suatu hari seorang isteri menghampiri suaminya dan berkata :

  Sayang, aku baru membaca sebuah artikel dimajalah tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan
  Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai 
  dari pasangan kita. Kemudian, kita akan membahas bagaimana 
  merubah hal-hal tersebut dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahaia…..".
   
  Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal
  dari pasangannya yang tidak mereka sukai dan berjanji
  tidak akan tersinggung ketika pasangannya mencatat
  hal-hal yang kurang baik sebab hal tersebut untuk
  kebaikan mereka bersama.
   
  Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar dan
  mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka
  masing-masing. Besok pagi ketika sarapan mereka siap
  mendiskusikannya. "Aku yang mulai duluan ya," kata
  sang istri. Ia lalu mengeluarkan daftarnya. Banyak
  sekali yang ditulisnya sekitar 3 halaman. Ketika ia
  mulai membacakan satu persatu hal yang tidak dia sukai
  dari suaminya, ia memperhatikan bahwa airmata suaminya
  mulai mengalir.... "Maaf, apakah aku harus
  berhenti?" tanyanya.
  Oh tidak, lanjutkan... jawab suaminya.
   
  Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang
  terdaftar, lalu kembali melipat kertasnya dengan manis
  diatas meja dan berkata dengan bahagia, "Sekarang
  gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu,"
   
  Dengan suara perlahan suaminya berkata, "Aku tidak
  mencatat sesuatupun dikertasku. Aku berpikir bahwa
  engkau sudah sempurna, dan aku tidak ingin merubahmu.
  Engkau adalah dirimu sendiri. Engkau cantik dan baik
  bagiku, Tidak satupun dari pribadimu yang kudapatkan kurang….".
  Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan
  ungkapan cinta serta isi hari suaminya. Bahwa
  suaminya menerimanya apa adanya..... Ia menunduk dan menangis…..
   
  Dalam hidup ini, banyak kali kita merasa dikecewakan,
  depressi dan sakit hati. Sesungguhnya tak perlu
  menghabiskan waktu memikirkan hal-hal tersebut. Hidup
  ini penuh dengan keindahan, kesukacitaan dan
  pengharapan. Mengapa harus menghabiskan waktu
  memikirkan sisi yang buruk, mengecewakan dan
  menyakitkan jika kita bisa menemukan banyak hal-hal
  yang indah disekitar kita?
   
  Saya percaya kita akan menjadi orang yang berbahagia
  jika kita mampu melihat dan bersyukur untuk hal-hal
  yang baik dan mencoba hal-hal yang baik dan mencoba
  melupakan yang buruk.


  Ini ku Persembahkan buat teman2 ku tersayang

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda FazaniDistributed by CahayaBiru.com
 
FaceBlog © Copyright 2009 Najid Al Ghozi | Blog saya yang lain Islam Bukan Teroris